Menembus Posisi Setaraq di “Berugak”


Ibu-ibu anggota Sekolah Perempuan di Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat berkumpul dan berbicara tentang sekolah perempuan di sebuah berugak yang ada di tengah pemukiman mereka di Dusun Segenter, Kamis (26/7/2018). Berugak merupakan tempat berkumpul masyarakat setempat sekaligus berfungsi sebagai tempat acara adat musyawarah persiapan perkawinan.

Mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender merupakan salah satu komitmen Indonesia dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.  Di  desa-desa di Provinsi Nusa Tenggara Barat, sejumlah ibu rumah tangga menjadi pelopor gerakan kesetaraan jender, dan  menembus  adat dan tradisi yang  merugikan perempuan.

Hingga tahun 2013,   Saraiyah (47) dan puluhan ibu di Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, hanya berperan sebagai ibu rumah tangga. Namun, empat tahun terakhir hidup mereka berubah. Tak hanya mengurus rumah tangga dan merawat anak,  ibu-ibu tersebut hadir memberi warna baru dalam kehidupan masyarakat di daerahnya, setelah mereka bergabung dalam Sekolah Perempuan di desa tersebut.
Sejak awal 2014, Saraiyah dan puluhan perempuan mengikuti Sekolah Perempuan yang dilaksanakan oleh Institut KAPAL Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan)  bersama Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra di NTB.
Ibu-ibu di desa tersebut mendapat pendidikan informal, dan mendapat pembekalan berbagai pengetahuan dan informasi melalui materi  kesetaraan jender, seksualitas dan kesehatan reproduksi,  pemetaan persoalan perempuan, kepemimpinan perempuan,  penguatan organisasi, penguatan ekonomi perempuan, dan advokasi.
Di Sekolah Perempuan mereka juga dilatih untuk membangun kepercayaan diri dan memiliki kesadaran kritis dalam menanggapi kondisi di tengah masyarakat.
Hasilnya, tidak hanya melahirkan perempuan-perempuan kritis, tetapi juga berani tampil membela anak-anak perempuan di desanya, menembus benteng-benteng adat  yang sarat dengan budaya patriarki – yang menutup ruang-ruang peran dan partisipasi  perempuan di dalam pengambilan keputusan.
Seperti yang dilakukan Saraiyah tiga tahun lalu. Ketua Sekolah Perempuan Desa Sukadana ini berhasil membawa posisi perempuan setara dengan laki-laki duduk di berugak (seperti saung atau gazebo, beratap rumbia dan memiliki tempat duduk terbuka).
Saraiyah, Ketua Sekolah Perempuan Desa Sukadana, berhasil membawa posisi perempuan setara dengan laki-laki duduk di berugak.
Di daerah NTB,  berugak biasanya  dibangun di tengah-tengah pemukiman masyarakat di Lombok. Satu berugak ada di antara tiga sampai lima rumah.  Sehari-hari berugak memiliki multifungsi, seperti  tempat  bersantai, mengobrol dengan tetangga sekitar, beristirahat, menerima tamu, dan tempat pasangan muda-mudi bertemu.
Di luar fungsi tersebut, berugak menjadi tempat  acara  adat dan tempat untuk musyawarah saat seorang anak perempuan akan dilamar oleh keluarga calon suaminya. Sesuai adat, yang boleh duduk di berugak hanyalah laki-laki, dan pengambilan keputusan pun oleh laki-laki. Perempuan tidak boleh duduk bersama di berugak, tapi di bawah berugak dan hanya sebagai pendengar.
“Kalau ada acara adat, misalnya anak saya mau menikah, waktu musyawarah dari keluarga saya cukup laki-laki yang duduk di berugak bersama pembekel (pemimpin adat), kepala dusun, tokoh masyarakat,”ujar Muliani (29), pengurus Sekolah Perempuan Desa Sukadana.
Padahal, dalam pengalaman selama ini, keputusan dalam musyawarah sering merugikan keluarga perempuan karena uang lamaran sangat kecil sementara biaya pesta perkawinan sangat besar.
Melihat kondisi tersebut, Saraiyah pun mencoba masuk dalam menembus budaya tersebut.

Ibu-ibu anggota Sekolah Perempuan di Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat foto bersama di depan sebuah berugak yang ada di tengah pemukiman mereka di Dusun Segenter, Kamis (26/7/2018). Berugak merupakan tempat berkumpul masyarakat setempat sekaligus berfungsi sebagai tempat acara adat musyawarah persiapan perkawinan.
Ikut musyawarah
Pada tahun 2016, saat kakak perempuannya yang janda akan menikahkan anak perempuannya, Saraiyah dan kakaknya memberanikan diri ikut duduk dalam musyawarah. Para tokoh adat dan  kepala dusun, termasuk keluarganya yang laki-laki kaget dan marah melihat Saraiyah dan 11 perempuan lain hadir saat itu. Karena berugak tal cukup memuat banyak orang, akhirnya musyawarah diselenggarakan di dalam rumah.
Dalam pertemuan itu, Saraiyah mewakili kakaknya berbicara. Ketika mulai musyawarah soal aji krama (pemberian pihak laki-laki kepada pihak perempuan), pisuka (jaminan), dan mahar (mas kawin), ia pun menawar pisuka sebesar Rp 35 juta, setelah mendengar pihak laki-laki hanya akan memberikan Rp 7 juta.  Saraiyah bernegosiasi  hingga akhirnya keluarga laki-laki menerima tawaran tersebut.
Saraiyah pun menawar pisuka sebesar Rp 35 juta, setelah mendengar pihak laki-laki hanya akan memberikan Rp 7 juta.  Saraiyah bernegosiasi  hingga akhirnya keluarga laki-laki menerima tawaran tersebut.
“Ternyata keluarganya mampu,”  kata Saraiyah yang dibenarkan Muliani (29), anggota Sekolah Perempuan yang lain.
Apa yang dilakukan Saraiyah kemudian menyebar ke masyarakat sehingga  mendorong perempuan-perempuan di desa bisa ikut dalam musyawarah perkawinan di berugak ketika anak perempuannya akan menikah. Posisi perempuan dan laki-laki pun menjadi setara.
“Ada pengaruh, karena  sangat mengurangi beban keluarga perempuan. Kalau tidak ikut bicara, kami akan berutang,” ujar Nursani (40), warga.
Tak hanya duduk  setara di berugak, saat ini perempuan di Sukadana dan desa-desa lain berperan dan dipercayakan menjadi anggota Majelis Krama Desa (MKD) Sukadana. Juli 2018, Saraiyah mewakili Sekolah Perempuan terpilih sebagai anggota MKD.
Dari 11 orang hanya dia satu-satunya perempuan, dan baru pertama kali perempuan masuk MKD.  Selama ini,  MKD yang tugasnya menyelesaikan sengketa ada di masyarakat secara adat, diisi laki-laki yang  terdiri dari tokoh masyarakat dan  tokoh agama.
Ibu-ibu anggota Sekolah Perempuan di Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat tengah berada di tengah kebun sayuran di kawasan pemukiman mereka di Dusun Lokok Buak, Kamis (26/7/2018). Sejak tahun 2014, para ibu di desa tersebut mengikuti program Sekolah Perempuan yang dilaksanakan Institut KAPAL Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan) bersama Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra di NTB melalui program Gender Watch.

Mengontrol pemerintah
Tak hanya itu, ibu-ibu dari Sekolah Perempuan pun hadir mengawasi berbagai program pemerintah di desanya, terutama bantuan-bantuan pemerintah.   Mereka mengontrol program pembagian beras untuk rumah tangga miskin (raskin), pembangunan infrastruktur di desa. Mereka juga memantau pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional untuk Penerima Bantuan Iuran (JKN-PBI) di daerahnya.
Ibu-ibu dari Sekolah Perempuan pun hadir mengawasi berbagai program pemerintah di desanya, terutama bantuan-bantuan pemerintah.
Mereka juga tidak pernah absen di setiap pertemuan di tingkat dusun, desa, kecamatan, hingga kabupaten/provinsi. Mereka juga berani bersuara di forum pertemuan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) di semua tingkatan pemerintahan.
Direktur Institut KAPAL Perempuan Misiyah dan Wakil Direktur Program LPSDM Ririn Hayudiani mengatakan, Sekolah Perempuan masuk di NTB melalui Program Gender Watch sejak 2013. Saat ini  sudah ada  7 Sekolah Perempuan di NTB, yakni di Kabupaten Lombok Utara (4) dan Lombok Timur (3) dengan anggota sebanyak 1.293 perempuan.
“Dengan semakin menguatnya kepemimpinan perempuan,  banyak desa yang mengembangkan dan mereplikasi sekolah perempuan. Kabupaten Lombok Utara bahkan memasukkan sekolah perempuan dalam  Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2016-2021 yakni akan mereplikasi sekolah perempuan di 29 desa,” kata Ririn. [Sumber : KOMPAS, Minggu, 7 Oktober 2018|Oleh: SONYA HELLEN SINOMBOR]


Comments

Popular Posts