“Pokeso”, Doa demi Kebaikan Anak
Anak-anak perempuan berjalan mengelilingi pohon bambu yang dipancang di tanah lapang dan digantungi ketupat dalam upacara pokeso di Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (5/9). Upacara itu menandai seorang anak memasuki masa dewasa.
TUJUH anak perempuan bersila di
sudut teras dengan keringat yang mengucur di wajah. Seutas tali dari kulit kayu
diikatkan di jidat hingga tengkuk. Saat air dari dalam sepotong bambu kecil
dituangkan oleh tetua adat di ubun-ubun, wajah mereka berubah menjadi
berseri-seri.
Seorang tokoh adat menuangkan air
dari dalam bambu kecil ke ubun-ubun seorang anak perempuan dalam upacara pokeso
di Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (5/9).
Upacara itu menandai seorang anak memasuki masa dewasa.
Seorang tokoh adat menuangkan air
dari dalam bambu kecil ke ubun-ubun seorang anak perempuan dalam upacara pokeso
di Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (5/9).
Upacara itu menandai seorang anak memasuki masa dewasa.
Siraman itu menandai satu tapak
kehidupan yang sejak saat itu mereka masuki, yakni dewasa. Untuk
menyempurnakannya, tujuh anak perempuan lalu diarak mengelilingi rumah. Mereka
bernaung di bawah kain yang ujung depan dan belakangnya ditopang para ibu.
Anak-anak perempuan berjalan
mengelilingi pohon bambu yang dipancang di tanah lapang dan digantungi ketupat
dalam upacara pokeso di Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Sulawesi
Tengah, Selasa (5/9). Upacara itu menandai seorang anak memasuki masa dewasa.
Anak-anak perempuan berjalan
mengelilingi pohon bambu yang dipancang di tanah lapang dan digantungi ketupat
dalam upacara pokeso di Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Sulawesi
Tengah, Selasa (5/9). Upacara itu menandai seorang anak memasuki masa dewasa.
Setelah selesai mengelilingi rumah,
barisan berarak ke tanah lapang. Di tempat itu, tujuh anak didampingi tetua
adat 10 kali mengelilingi pohon bambu yang digantungi ketupat. Bambu dipancang
sehari sebelumnya.
Tetua adat melantunkan nyanyian saat
anak-anak berjalan mengelilingi pohon bambu. Suara mereka lamat-lamat terdengar
karena bersamaan dengan genderang ditabuh. Bunyi genderang menaklukkan terik
yang sangat pada siang itu.
“Dengan ini, mereka telah resmi
memasuki satu tahap kehidupan, yaitu memenuhi persyaratan untuk menikah suatu
saat nanti, atau kata lainnya dewasa,” kata Banje (63), anggota Lembaga Adat Lekatu,
Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (5/9).
Bersama delapan anak lain, tujuh
anak perempuan itu mengikuti ritual adat pokeso, salah satu upacara dalam Suku
Kaili, suku mayoritas di Sulteng. Keso berarti menggosok, yang merujuk pada
salah satu bagian upacara saat gigi anak-anak digosok dengan butir telur.
Seiring berjalannya waktu, bagian itu tak lagi dipraktikkan, tetapi upacara
tetap dinamai pokeso. Awalan po, dalam hal ini berarti upacara yang sering
dipertukarkan dengan no, yang bermakna cara (ritual dilakukan).
Dengan pokeso, seorang anak
perempuan secara adat resmi menapaki masa dewasa. Kedewasaan di sini tidak
terikat pada usia karena sebagian besar anak yang mengikuti upacara itu berumur
7-10 tahun. Hanya dua orang yang berumur 17 tahun.
Menurut budayawan Kaili, Tjatjo TS
Alidrus, pokeso merupakan bagian dari novati yang dipraktikkan sejak abad ke-16
Masehi oleh masyarakat Kaili. Vati berarti keturunan atau kemargaan. Novati
merupakan upacara yang diikuti seorang anak perempuan agar tidak bertumbuh dan
berkembang di luar aturan keturunan atau kemargaan.
Novati mencakup upacara saat anak
dalam kandungan hingga memasuki usia dewasa. Kemargaan di sini tak hanya
terkait status sosial, keturunan bangsawan atau bukan, tetapi juga menyangkut
komunitas adat serta seluruh aturan di dalamnya.
Dipingit
Sebelum pokeso digelar, anak-anak
perempuan dipingit di dalam rumah selama tiga hari. Mereka tidak boleh keluar
rumah, untuk bermain atau aktivitas lain yang tidak mendesak dilakukan.
Anak-anak diawasi orangtua. Kalau ada keperluan penting di luar rumah, orangtua
meminta izin ke lembaga adat.
Tidak ada penentuan umur untuk anak
perempuan yang mengikuti upacara. Penentu satu-satunya adalah kesanggupan
ekonomi orangtua anak, karena biaya pesta adat ini cukup mahal, terutama untuk
menjamu warga kampung.
Pokeso terdiri atas empat tahap.
Tahap pertama disebut polibu. Pada tahap ini, orangtua menyatakan syukur atas
kehidupan perkawinan dan anugerah keturunan. Syukur ini diwujudkan dalam
berbagai sesajian. Tahap ini dilakukan di balai adat (baruga atau bantaya dalam
bahasa Kaili).
Tahap selanjutnya polama. Tahap ini
ditandai dengan penyembelihan ayam yang dipersembahkan orangtua anak yang
mengikuti upacara. Ayam mewakili rasa syukur keluarga atas anak yang dihadirkan
ke tengah-tengah mereka dan syukur anak-anak atas kehidupan yang dijalani.
Darah ayam dibawa ke rumah masing-masing keluarga. Darah itu disimpan.
Bagian ketiga dari pokeso adalah
pobau. Pada tahap ini, salah satu keluarga mewakili seluruh keluarga yang anak
perempuannya mengikuti upacara menerima sarung, parang, dan mangkuk dari ketua
adat. Tiga benda itu mewakili aktivitas ekonomi keluarga. Sebelum penyerahan,
ketua adat memanjatkan mantra yang isinya agar anak itu diberi kesuburan,
kesehatan, dan kebaikan. Leluhur anak dan kampung juga disebut oleh ketua adat
agar mereka membantu harapan terwujud.
Pokeso merupakan tahap puncak
sekaligus bagian akhir dari rangkaian upacara. Untuk tahap ini, hanya tokoh
adat tertentu yang bisa memimpin upacara, mulai dari memanjatkan mantra,
menuangkan air ke ubun-ubun anak, hingga mengelilingi pohon bambu yang
digantungi ketupat. Mereka dari keturunan yang lazim memimpin upacara serupa.
Di beberapa komunitas adat
(subetnis), bagian pokeso dilengkapi dengan penggosokan butir telur di gigi.
Namun, ada juga komunitas yang tidak mempraktikkannya. Di komunitas lain,
penggosokan gigi ini malah dilakukan di bagian awal sebelum anak dipingit.
Etnis Kaili terdiri atas banyak
subetnis, antara lain Da’a, Rai, Ledo, dan Unde. Komunitas Lekatu bagian dari
Subetnis Da’a. Meskipun saat ini pokeso tak lagi rutin digelar, pada awalnya
semua etnis menggelar upacara itu dengan variasi di tahap-tahapnya.
Ketua Lembaga Adat Lekatu, Jamal,
menyatakan, semua anak perempuan harus mengikuti pokeso. “Kalau tidak mengikuti
upacara ini, anak itu belum bisa menikah. Dia belum dipersiapkan sebagai orang
dewasa,” ujar Jamal sembari menyebutkan komunitasnya hampir setiap tahun
menggelar pokeso.
Demi kebaikan
Bagi Tjatjo, pokeso merupakan bentuk
penghormatan besar terhadap perempuan. “Sebab, ia mengandung, melahirkan, dan
membesarkan anak, perempuan perlu diupacarai secara khusus. Melalui pokeso,
perempuan diberi tanggung jawab terhadap dirinya, sesama, lingkungan, dan
Tuhan. Dengan tanggung jawab itu, anak perempuan diharapkan menjaga martabat,
melahirkan kebaikan untuk kehidupan,” ujar anggota Dewan Adat Kota Palu itu,
yang menegaskan upacara itu bukan bentuk kungkungan budaya patriarkat.
Lima belas anak yang mengikuti
upacara pokeso barangkali adalah wakil dari banyak anak perempuan dan anak
laki-laki. Mereka didoakan untuk menjadi generasi masa depan, yang membawa
kebaikan untuk kehidupan. Doa itu tak hanya muncul dalam mantra, tetapi juga
simbol-simbol yang ditampilkan dalam upacara, seperti air, ketupat, bambu,
darah ayam, sarung, parang, dan mangkuk.[Sumber : Kompas, Sabtu 14 September
2017|Oleh: VIDELIS
JEMALI]
Comments