Beranjak Makmur Berkat Kopi Tempur
Sudut Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Kamis (9/8/2018), kini bisa dinikmati wisatawan setelah desa penghasil kopi itu bangkit. Jalan desa yang bersih dan rindang bersanding dengan kedai-kedai kopi yang tumbuh di desa di lereng Gunung Muria itu. Kopi khas olahan petani kopi di Tempur banyak dinikmati penggemar kopi di Tanah Air
Masyarakat
Desa Tempur di lereng Gunung Muria, Jawa Tengah, dulunya hidup terpencil dalam
impitan kemiskinan. Namun, keseriusan dan ketekunan membudidayakan kopi membuat
mereka mulai sejahtera. Bahkan, kopi pun menjadi tujuan wisata.
Memasuki
Desa Tempur di Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, di lereng Pegunungan Muria,
Jawa Tengah, hamparan sawah berundak bagai kawasan pertanian subak di Pulau
Bali tersaji. Desa ini juga cukup sejuk karena berada pada ketinggian sekitar
800 meter-1.000 meter di atas permukaan laut.
Desa
Tempur yang dihuni sekitar 3.000 keluarga ini hingga lima tahun lalu terbilang
sepi. Desa ini berada 61 kilometer (km) dari pusat Kota Jepara dan terletak
jauh dari ruas utama Jepara-Pati. Jarak dengan desa terdekat, yakni Desa
Damarwulan, sekitar 10 kilometer. Kondisi jalan juga berbatu.
Saat
musim hujan, jalannya becek dan sulit dilalui.
Jalan
desa itu sempit, berkelok-kelok, naik turun menyusuri jalur perbukitan.
Topografi jalur yang curam menyebabkan di setiap tikungan selalu ada informasi
yang mengingatkan para pelintas jalan agar membunyikan klakson memberi tanda
bagi pengendara dari arah berlawanan. Bahkan, di Dusun Duplak, daerah
tertinggi, setiap kelok jalan tersedia drum berisi air untuk meredam panas rem
mobil saat melintasi jalur menurun.
Ritual
Wiwitan
Namun,
kondisi jalan menuju Desa Tempur kini membaik. Itu semua tak lepas dari upaya
warga membudidayakan kopi. ”Sejak kopi Tempur mulai dikenal masyarakat luar,
bantuan sarana peningkatan jalan dari Pemerintah Kabupaten Jepara membuat
kondisi jalan beraspal dan mulus. Jalan aspalnya bahkan sampai Dusun Duplak,
dusun tertinggi di Tempur,” Ujar Zaenudin, warga Dusun Duplak, yang juga petani
kopi, Kamis (9/8/2018).
Tokoh
masyarakat Dusun Duplak, Jatmiko (52), menuturkan, atas inisiatif warga, sejak
2013, setiap awal panen kopi, digelar ritual Wiwitan di kebun tertinggi di desa
ini. Ritual dimulai dengan memilih biji kopi terbaik dari beberapa pohon.
Selanjutnya, tokoh-tokoh masyarakat diundang mengawali tradisi panen kopi
dengan diiringi musik tradisional. Seusai prosesi Wiwitan, semua yang hadir
makan bersama.
Kebun
kopi di Desa Tempur sebenarnya sudah ada sejak puluhan tahun silam. Tidak hanya
di desa itu, tetapi juga di desa tetangga seperti Damarwulan, Sumanding, dan
Kunir.
Meski
demikian, Gunadi (46), petani, mengakui, awalnya petani masih kerap memetik
biji kopi yang berwarna hijau (belum matang sempurna), bukan merah. Hal itu
terpaksa dilakukan untuk mengejar kebutuhan sehari-hari. Biji kopi basah itu
dijual murah, hanya Rp 4.000 per kg hingga Rp 5.000 per kg.
”Ada
dua alasan petani memilih petik biji kopi hijau. Selain takut biji kopi keburu
kena hama, juga didesak kebutuhan membeli beras dan kebutuhan sehari-hari yang
lain,” tutur Gunadi.
Setiap
panen, lanjut Gunadi, satu pohon menghasilkan 2-5 kg biji kopi basah. Petani
menjual dalam bentuk basah karena tak mau repot. Akan tetapi, pendapatan petani
rendah, hanya sekitar Rp 1,2 juta setiap musim.
Jatmiko
(kiri), Ketua Kelompok Tani Kopi Sido Makmur, bersama anggota memperlihatkan
mesin pengolah biji kopi mereka di Dusun Nduplak, Desa Tempur, Kamis (9/8).
Ketua
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sido Makmur Desa Tempur Syaiful Anwar (47)
mengungkapkan, kebiasaan petani memetik biji kopi muda itu baru berubah setelah
kopi Tempur memenangi lomba kopi di Yogyakarta pada 2015.
Pada
uji cita rasa pada lomba yang diikuti kopi-kopi terbaik se-Indonesia itu, kopi
Tempur tanpa dinyana memperoleh penghargaan sebagai kopi bercita rasa tinggi
kedua setelah Toraja. Ketika itu, kopi Toraja mendapat poin 8,2, sedangkan kopi
Tempur 8,1.
Penghargaan
itu didapat dari biji kopi yang dipetik merah oleh sejumlah petani, seperti
Jatmiko dan Syaiful Anwar. Sepulangnya dari Yogyakarta, mereka yang kemudian
memberi edukasi kepada para petani lain untuk memulai petik merah.
Pada
saat sama, gapoktan juga bertindak sebagai pengepul dari hasil panen kopi
petani. Sejak itu, hasil kopi petik merah petani dihargai dari Rp 15.000 per kg
hingga Rp 25.000 per kg.
”Dengan
harga lebih tinggi, petani berlomba melakukan petik biji merah. Hasilnya
pendapatan naik menjadi lebih dari Rp 2,5 juta per musim,” ujar Jatmiko.
Selanjutnya,
Gapoktan Sido Makmur menargetkan bisa mengekspor kopi Tempur secara langsung.
Selama ini, hasil kopi diekspor melalui pihak ketiga.
Penghargaan
atas kopi Tempur juga memancing perhatian dari pemerintah daerah setempat.
Mereka mulai membantu dengan menyediakan sejumlah mesin pengolah kopi, seperti
mesin pemecah kulit, mesin penyaring, dan mesin sangrai. Biji kopi benar-benar
menjadi penggerak ekonomi desa. Petani pun berani membeli mesin pengolah
sendiri ke perajin logam di Pati seharga Rp 17 juta.
Budidaya
kopi juga melibatkan perempuan. Pihak pemerintah desa membentuk kelompok
perempuan petani kopi. Mereka bertugas membantu pengolahan kopi setelah panen
hingga pembuatan bubuk kopi. Mereka juga mengolah hasil kebun lain, seperti
ketela, salak, dan jeruk bali.
Pengolahan
Gapoktan
Sido Makmur juga memelopori pengolahan kopi. Hasilnya, tidak ada lagi kopi
basah atau biji kopi mentah keluar dari desa. Petani menjual kopi dalam tiga
jenis, yaitu biji kopi kering (ose/green bean), biji sangrai (roasted bean),
dan bubuk. Kopi bubuk dalam kantong ukuran 150 gram dijual seharga Rp 15.000.
Hampir
90 persen pohon kopi di Desa Tempur termasuk varietas robusta. Rasa pahitnya
cukup menonjol bercampur aroma gula jawa. Baru setahun terakhir petani mulai
menanam varietas arabika di kebun dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan
laut. Dalam tiga tahun terakhir, pohon arabika yang sudah tertanam mencapai
5.000 pohon.
Syaiful
mengatakan, perubahan pengolahan kopi dirasakan warga. Dengan produksi sekitar
800 ton per musim tanam, Gapoktan Sido Makmur dipercaya mengirim permintaan
kopi sangrai dari sejumlah kafe di Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Surabaya,
Denpasar, dan Malang. Setiap kafe meminta kiriman 1 kuintal kopi sangrai.
Belakangan, bebarapa kafe bahkan minta 2 kuintal per bulan. Omzet gapoktan kini
sekitar Rp 150 juta per bulan.
Kebangkitan
pariwisata
Kembali
ke tradisi Wiwitan petik kopi, Bupati Jepara Ahmad Marzuqi sudah dua tahun
berturut-turut ikut mengawali tradisi petik kopi tersebut. Alhasil, kedatangan
bupati ke sebuah desa mendorong peningkatan infrastruktur desa terbenahi.
Jalan-jalan tidak ada lagi jalan tanah, rumah-rumah warga di tepi jalan pun
dibenahi.
Beberapa
waktu terakhir, kopi juga dimanfaatkan sebagai agrowisata. Wisatawan juga
menyaksikan petani mengolah kopi, mulai dari memecah biji sampai kaum perempuan
menumbuk biji kopi untuk konsumsi sendiri.
Kini,
desa yang dulunya terisolasi mulai merekah. Saat musim panen, sebagian besar
tepi jalan digunakan untuk menjemur biji kopi. Beberapa keluarga membuka kedai
kopi
di
dusun. Kini, ada tiga kedai yang siap menyajikan kopi Tempur untuk pengunjung.
Bahkan, setiap akhir pekan, setidaknya ada 30 pengunjung yang bertandang ke
Desa Tempur. Saat tradisi Wiwitan berlangsung pun, lebih dari 600 pengunjung
datang.
Di
kantor gapoktan, yang juga kedai milik Syaiful Anwar, tersaji beragam jenis
bubuk kopi siap saji. Mulai dari kopi lanang (biji kopi tunggal), organik,
original, hingga luwak liar.
Kini,
Desa Tempur, yang juga sudah ditetapkan sebagai desa wisata, giat mengembangkan
pariwisata dengan ajakan minum kopi di gunung. Agrowisata kopi makin variatif
dan melengkapi destinasi desa lain, seperti Candi Angin, Candi Bubrah, Sumur
Batu, dan kaldera Gunung Muria.[Sumber: Kompas, Jumat, 14 September 2018|Oleh:
Winarto Herusansono]
Comments