Wibowo Menjaga Marwah Nelayan Rawapening


Selain masalah degradasi lingkungan, danau Rawapening sejak lama menyimpan api konflik yang berpangkal pada soal tata guna lahan. Wibowo, anak seorang tokoh nelayan, berusaha menengahi konflik tersebut dan mengangkat derajat nelayan danau.
Kepadatan gulma eceng gondok di Danau Rawapening, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah tak hanya menyebabkan kerusakan ekosistem, tetapi kerap menimbulkan konflik antarnelayan. Perahu nelayan kerap menabrak jaring nelayan lain hingga putus.
Suatu kali, pernah pula ada perahu terbalik saat membawa pemancing maupun wisatawan karena terjebak akar rumpun eceng gondok. Tak jarang insiden itu memakan korban jiwa. “Sebagai ketua paguyuban nelayan, saya harus bisa mendamaikan konflik dan menekan insiden kecelakaan,” tutur Wobowo saat ditemui di Dusun Ngentaksari, Desa Kesongo, Kecamatan Tuntang, pertengahan Maret lalu.
Ketika terpilih menjadi ketua paguyuban nelayan Sedyo Rukun Rawapening pada 1997, awalnya Wibowo kesulitan mempersatukan 3.000-an nelayan dari 13 desa sekitar yang mengandalkan penghidupan dari danau. Nelayan di Rawapening terdiri dari tiga kelompok besar, yakni nelayan ikan, pencari eceng gondok, dan petani budidaya ikan karamba.
Nelayan pencari eceng gondok di kawasan Banyubiru, Bukit Cinta merupakan nelayan berpenghasilan besar. Pendapatan mereka bisa mencapai Rp 200.000 per hari. Sebaliknya nelayan di Sumurup, Asinan lebih mengandalkan mencari ikan. Saat itu, sehari mereka bisa memperoleh 30 kilogram ikan. Konflik kepentingan pemanfaatan lahan di antara mereka sering tak terhindarkan.
Untuk menengahi kepentingan nelayan, Wibowo menerapkan zonasi penangkapan ikan. Meski anak dari tokoh nelayan setempat, M Komar, dia dipercaya karena tidak terlibat konflik kepentingan. Dia tak memiliki perahu maupun keramba. Posisi itu memudahkan dirinya mengatur para nelayan tanpa menimbulkan kecurigaan. “Keputusan pengaturan zonasi murni untuk kepentingan masyarakat,” ujar Wibowo.
Dia menindaklanjuti pengaturan zonasi dengan pembentukan tim satgas keamanan perairan Rawapening. Tugas satgas dengan 40 anggota itu menangani konflik antarnelayan. Walau sudah dirancang zonasi, tak jarang nelayan melanggar masuk wilayah area milik nelayan lain.
Selain pelanggaran zonasi, pencurian perahu juga marak terjadi sekitar 1999. Perahu nelayan Rawapening yang dicuri lalu biasanya dijual ke Wonogiri, Boyolali, atau daerah lain yang memiliki danau. Pencurian perahu dilakukan malam hari dan diangkut dengan truk. Perahu curian dijual murah yakni Rp 200.000-an. Dengan pengaruhnya, Wibowo berupaya keras menemukan rumah pencuri.
“Secara periodik, kami mengadakan pertemuan perwakilan nelayan untuk merancang program pemberdayaan. Tugas saya, mengajukan program ke lembaga pemerintah di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten,” ujar Wibowo.
@Perahu wisata di Desa Asinan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang terjebak air dangkal di perairan Danau Rawapening
Pemberdayaan
Lahir dan besar di keluarga nelayan, sejak muda, aktivitasnya tak terlepas dari urusan danau Rawapening. Dia tergugah menangani sektor perikanan dengan banyak melakukan pendampingan maupun pemberdayaan. Wibowo pun getol menyuarakan perbaikan ekosistem danau demi warga setempat.
Salah satunya persoalan banjir yang belasan tahun melanda Desa Rowoboni, Banyubiru sebagai dampak pertemuan alur dua anak sungai dari lereng Gunung Merbabu. Sebagai upaya mengatasinya, Sedyo Rukun mengusulkan agar dibuat kanal di alur muara kedua anak sungai itu. Ketika hal itu dikerjakan pemerintah, Desa Rowoboni tidak lagi kebanjiran.
Seiring bertambahnya jumlah nelayan, Sedyo Rukun bersama Dinas Perikanan Kabupaten Semarang sepakat membagi budidaya di perairan danau menjadi enam klaster (cluster) seturut tradisi kehidupan nelayan atau petani setempat. Enam klaster meliputi penangkapan ikan, budidaya ikan karamba, pertanian, gambut, tanah hitam untuk budidaya jamur dan bahan briket, klaster perajin eceng gondok, serta pariwisata.
“Klaster tak hanya menguntungkan nelayan, tetapi juga memudahkan pemerintah saat ada program pemberdayaan,” ujar Wibowo.
Wibowo menilai, Danau Rawapening tak hanya menjadi daya hidup bagi masyarakat sekitarnya. Danau ini juga berfungsi mengatur sistem iklim dan hidrologi lembah tiga gunung yakni Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Damai tak hanya rumah bagi keanekaragaman hayati. Akan tetapi, juga menyediakan sumber bahan baku energi pembangkit listrik dan irigasi bagi petani di daerah hilir meliputi Grobogan dan Demak.
Sejak 2005, menurut Wibowo, daya dukung danau mulai turun. Kualitas air turun drastis, produktivitas anjlok, siklus hidrologi pun terganggu. Paling mencemaskan, daya tampung air merosot hanya 30 juta meter kubik dari kapasitas tampung ideal 65 juta meter kubik. Dengan penurunan volume air, tak jarang Wibowo sering diprotes para petani pengguna air di daerah hilir seperti Demak dan Grobogan.
@Warga berperahu melintasi lahan pasang surut yang berada di Rawapening, Desa Asinan, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (22/10/2018). Rawapening masuk dalam daftar salah satu danau kritis dengan pendangakan setinggi 42 sentimeter setiap tahunnya. Saat ini upaya pengerukan sedimentasi dan pembersihkan enceng gondok juga terus dilakukan.
Serap aspirasi
Saat nelayan tak berdaya, Pusat Studi dan Pengembangan Kawasan Rawapening (PSPKRP) Universitas Kristen Satya Wancana Salatiga dibantu Universitas Goethe Jerman pada 2005 mulai membantu. Kelompok Nelayan Sedyo Rukun pun menjadi mitra lembaga tersebut. Ujungnya, pembentukan Forum Rembug Rawapening (FRP) yang juga diketuai Wibowo.
Sejak aktif di Forum Rembug Rawapening, banyak ahli-ahli danau dan ekosistem perairan dari Jerman, Jepang, Belanda menyambangi rumahnya. Mereka berdiskusi, menyerap usulan petani dan nelayan. Bahkan, di rumah Wibowo, mereka membuat usulan program untuk keperluan program ke pemerintah pusat terkait penyelamatan Rawapening.
Belajar dari pengalaman diprotes petani daerah hilir Rawapening, Wibowo memperluas jaringan FRP tak hanya bagi warga sekitar danau, tetapi juga petani pengguna air di Demak dan Grobogan. Mereka dilibatkan dalam setiap dialog forum, supaya tidak ada kecurigaan jika terjadi gangguan irigasi.
Tak hanya mendampingi dan memberdayakan nelayan, Wibowo juga ikut mengawal setiap aliran bantuan revitalisasi danau dari pemerintah. Pasalnya, sepanjang 10 tahun terakhir, banyak sekali program-program berkedok pemberdayaan, tetapi pelaksanaannya tak profesional.
“Programnya bagus tetapi ditangani kontraktor atau pelaksana yang tidak berkompeten, sehingga hasilnya tak maksimal,” tutur Wibowo.
Dia pun tak surut jika mesti terlibat konflik dengan pelaksana proyek di Rawapening. Dia mencontohkan, ada program pengurangan gulma eceng gondok dari pemerintah pusat dengan anggaran cukup besar. Namun ketika pelaksanaan, ternyata kontraktornya tidak berkompeten.
Wibowo mengatakan, banyak proyek yang dikerjakan sembarangan. Akibatnya kerusakan ekosistem Rawapening justru kian parah. Dia berharap, revitalisasi secara menyeluruh segera diwujudkan sebelum danau seluas 2.670 hektar itu tersisa menjadi sebatas legenda.
Wibowo
Lahir: Tuntang, Kabupaten Semarang,
25 April 1968
Istri: Nasikah
Anak–anak :
– Azza Qunaita dan Wina Nafsani
Pendidikan :
– SMA Negeri Ambarawa (1986)
– Sarjana IAIN Walisongo, Salatiga (2001)
Organisasi:
– Ketua Kelompok Nelayan Sedyo Rukun, Rawapening, Kabupaten Semarang (1997-2002)
– Ketua Forum Rembug Rawapening, 2002 – sekarang
– Pendiri BMT Sumber Mulia, Kabupaten Semarang (1999) )[Sumber : Kompas, Rabu, 22 Maret 2019|Oleh : Winarto Herusansono]

Comments

Popular Posts