Memanjakan Mata di Kalbarri


Ingin sensasi liburan yang berbeda? Yuk, naik ”quad bike” di padang gurun dan bermain kano di sungai yang jernih di Australia Barat. Kalau masih kurang, tambahlah dengan melihat Danau Pink dari udara. Langit dan laut yang biru, diseling warna magenta air danau dijamin membuat mata dan hati kita adem.
Bersafari naik quad bike di Taman Nasional Kalbarri, Australia Barat, pada Sabtu (17/6). 
Kerang segar dicocol ke saus menjadi salah satu suguhan andalan makan laut di Australia Barat. Gugusan ratusan batu di Pinnacles Desert dalam kawasan Taman Nasional Nambung, Australia Barat. Instruktur kano mengawasi kliennya yang sedang main kano di Sungai Murchison, Kalbarri, Australia Barat.
Ingin sensasi liburan yang berbeda? Yuk, naik ”quad bike” di padang gurun dan bermain kano di sungai yang jernih di Australia Barat. Kalau masih kurang, tambahlah dengan melihat Danau Pink dari udara. Langit dan laut yang biru, diselingi warna magenta air danau, dijamin membuat mata dan hati kita adem.
Guncangan kuat di badan saat naik quad bike (motor beroda tiga atau empat) di Taman Nasional Kalbarri, Australia Barat, seolah masih terasa bahkan setelah pengalaman usai. Sebagian jalanan di gurun seluas 186.000 hektar itu tampaknya dari batu cadas sehingga ketika roda motor melindas, badan pengemudi dan penumpang motor yang justru terguncang hebat. Badan yang tipis ini serasa luruh, tetapi sungguh, kegiatan itu menyenangkan. Naik quad bike merupakan salah satu kegiatan yang saya dan lima wartawan, travel blogger, staf Garuda Indonesia, dan staf Tourism Western Australia rasakan pada Juni lalu. Kami menelusuri sebagian bumi Australia Barat yang punya alam beragam. Ada laut, padang gurun, dan sungai lebar yang jernih. Terdapat wilayah seperti Taman Nasional Kalbarri yang tampak keras, penuh bebatuan usia ribuan tahun, tetapi memberi keteduhan karena ada aliran sungai dengan pepohonan di tepian. Kehadiran hewan penghuni padang seperti kanguru dan kuda menambah rasa senang. Kami awali petualangan luar ruang pada Sabtu (17/6) pukul 08.00 dari Geraldton, kota kecil di Australia Barat. Satu jam sebelumnya kami terbang dari Perth.

Safari padang gurun
Setelah selama 2,5 jam menyusuri jalan aspal dari Geraldton, lalu masuk jalan dari tanah yang keras dan berdebu, akhirnya kami bertemu Ellen. Perempuan bertubuh gagah itu memandu kami bersafari di Taman Nasional Kalbarri dengan quad bike. Sebelumnya, Ellen melatih kami naik quad bike. Setelah itu ia berkendara paling depan. Naik quad bike di udara bersuhu 20-an derajat celsius ternyata asyik. Rombongan melalui jalan tanah, jalan berpasir tebal yang tak selalu mulus. Butuh tangan kuat untuk mengendalikan motor. Apalagi bila tergoda ngebut mengejar kawan lain. Safari di siang bolong itu memanjakan mata. Di tengah jalan kami berjumpa kawanan kuda liar penghuni taman nasional. Pepohonan yang menghijau maupun berdaun coklat, deretan bukit batu karang, serta sungai berair jernih juga bergantian kami lalui. Melihat pemandangan unik itu hati tergoda untuk berfoto-foto sembari naik quad bike. Ah, rupanya Ellen tahu. Segera ia berputar arah menegur kami. ”Kalian membahayakan diri sendiri. Kamu bisa jatuh. Biarkan orang yang di belakang (dibonceng) ambil foto,” kata Ellen. Ia serius soal keselamatan karena di kegiatan tersebut pernah jatuh korban meninggal. Perjalanan berlanjut. 
Sesekali Ellen mengajak kami berhenti di tempat berpemandangan elok seperti tepian sungai berusia 400 juta tahun yang lebar dengan air jernih. Menelusuri Taman Nasional Kalbarri selama sekitar 3 jam membuat saya teringat Taman Nasional Baluran di Banyuwangi, Jawa Timur. Kawasan hutan lindung yang dihuni banteng jawa, monyet, rusa, harimau itu tak kalah eksotis dari gurun Kalbarri. Baluran yang juga punya pantai indah dan hutan mangrove cantik belum dieksplor seperti Kalbarri. Betul, pengunjung taman nasional itu bisa jalan kaki atau naik mobil untuk bersafari, tetapi jelas beda sensasi antara naik quad bike dan mobil tertutup ber-AC. Sebelum pulang, Ellen mengajak kami ke bukit karang besar. Beramai-ramai kami naik ke bukit kokoh di taman nasional berjarak 590 kilometer dari Perth tersebut. Dari atas bukit, pemandangan ke bawah sungguh menakjubkan. Aneka tanaman dan deretan bukit batu berwarna kecoklatan di taman nasional itu indah sekali. Puas berfoto, kami turun. Ellen menyambut dengan jus dingin dan kue cokelat buatannya yang enak. Bersafari di hutan hanya satu alternatif wisata di Kalbarri. Keesokan hari pukul 08.30 kami siap di tepi laut. Kali ini ada Adrian dan Dan yang mengajak bermain kano di Sungai Murchison. Demi keamanan barang, kami disarankan cukup membawa telepon seluler yang harus dimasukkan ke kantong plastik supaya tak basah bila kano terbalik.
Butuh kekompakan
Naik kano ternyata tidak mudah. Meski satu tim bertiga, kami sering tak bisa mengendalikan kano sehingga harusnya bergerak maju, eh kano malah berputar balik atau minggir ke kanan-kiri sungai. Usaha mengembalikan kano ke posisi awal juga tak mudah karena butuh kekompakan semua anggota tim. Suatu kali, kano nyaris terbalik karena terjangan arus deras ditambah kami tak kompak mengayuh sehingga Johanes Raindy dari Garuda Indonesia tercebur ke sungai. ”Airnya dingiiin,” teriaknya spontan. Caesar Gunawan dari Net TV berusaha membantu menstabilkan kano dengan turun ke air. Keduanya pun berbasah-basah. Beruntung, Dan mengajak kami istirahat di tepi sungai yang menjadi tempat Adrian menunggu. Ia sudah menyiapkan aneka sarapan dari bahan di mobil dan tempat masak di tepi sungai. Ada roti bakar dengan isi, telur, keju, dan lainnya. Boleh memilih minum aneka jus, susu, atau teh. Setelah istirahat, kami kembali ke sungai meneruskan perjalanan. Oleh karena baru pertama naik kano, kami cukup main kano sepanjang 9 kilometer, tak seperti orang Australia yang liburan dengan naik kano di sungai yang sama sepanjang lebih dari 10 km. ”Tak apa, kerja yang bagus, Kawan. Kalian orang Indonesia pertama yang bermain kano,” kata Dan yang sudah lebih dari setahun menjadi instruktur kano. Perjalanan berlanjut lagi keesokan hari dengan naik pesawat ringan dari Geraldton untuk menikmati Pink Lake yang tersohor. George, sang pilot, membawa kami terbang sekitar 35 menit membelah langit biru. Dari udara kami menikmati keindahan Pink Lake, ikan paus di laut, dan garis pantai yang unik karena dipagari tebing batu dengan gumuk (tumpukan pasir) dan pantai yang bersih. Sebelum kembali ke Perth, kami mampir ke Pinacle, gugusan ratusan batu usia ribuan tahun yang unik dan cantik. Liburan kali ini memang berbeda.[ Kompas Minggu 30 Jul 2017 | OLEH SOELASTRI SOEKIRNO]

Comments

Popular Posts