Fathul Yusro Mencatat Pengetahuan Tanaman Obat
Konversi lahan di Kalimantan Barat mengancam kelestarian biodiversitas, termasuk tanaman obat. Pengetahuan masyarakat pun terdegradasi. Apalagi, pengetahuan itu hanya diwariskan secara lisan. Hal itu mendorong dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Pontianak, Fathul Yusro (38), meneliti tanaman obat dan mengabadikannya dalam buku untuk menyelamatkan warisan pengetahuan itu.
Yusro duduk di salah satu ruangan dosen di Fakultas
Kehutanan Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalbar, Senin (4/3/2019) siang.
Jari-jemarinya perlahan membuka laptop di atas meja. Dia menunjukkan banyak
data tentang tanaman obat yang pernah ditelitinya, termasuk sejumlah publikasi
tentang tanaman obat.
”Satu tanaman obat bisa diambil sampai 20 foto karena
semua bagian penting difoto,” ujar Yusro.
Selain dokumentasi, foto-foto itu digunakan untuk
identifikasi. Selama ini, pengetahuan mengenai tanaman obat selain studinya
terbatas, informasinya pun sangat terbatas.
Satu tanaman obat bisa diambil sampai 20 foto karena
semua bagian penting difoto.
Yusro memulai perjalanan mengeksplorasi biodiversitas
tanaman obat sejak 2012. Ketika itu, kebetulan ada program dari Kementerian
Kesehatan yang mencoba mengeksplorasi jenis tanaman obat di Kalbar. Dari
situlah ia terus mendalami penelitian tentang tanaman obat dengan dibantu
beberapa rekan.
Penelitian pertama dilakukan di daerah masyarakat
Dayak Iban, Kabupaten Kapuas Hulu. Kemudian, penelitian dilakukan di Kabupaten
Sintang, Sanggau, Kubu Raya, dan Kota Pontianak. ”Selain itu, wilayah pesisir
juga di Kabupaten Sambas dan Mempawah,” ujarnya.
Untuk meneliti tanaman obat, ia harus menemui dan
menggalinya dari masyarakat ataupun dukun yang masih mewarisi pengetahuan
tentang tanaman obat. Hal itu tidak mudah karena ada dukun yang terkadang tidak
mau diwawancarai atau hanya memberikan sebagian informasi.
”Paling hanya lima dari 10 tanaman obat yang mereka
berikan informasinya,” ucapnya.
Ada pula yang bersedia diwawancarai, tetapi ada syarat
khusus. Syarat itu biasanya disebut pengeras. Jika menemukan syarat yang berat,
Yusro membatalkan untuk mendapatkan informasi itu atau mencari orang lain yang
mau berbagi informasi.
Yusro pernah tidur di hutan selama tiga hari, misalnya
di daerah Kecamatan Mandor, dengan mendirikan tenda. Hal itu dia lakukan untuk
mencari tanaman yang direkomendasikan warga sebagai tanaman obat.
”Di Kalbar ada 158 subsuku Dayak. Perbedaan setiap
suku dan wilayah memberikan pengetahuan yang berbeda pula tentang tanaman obat
dan fungsinya. Penelitian dilakukan untuk menguji mana fungsi yang paling
benar,” paparnya.
Yusro ingin mengetahui, apakah pengetahuan yang
dimiliki masyarakat terbukti secara ilmiah. Jenis-jenis tanaman obat yang
dipergunakan masyarakat menjadi titik awal ditemukannya obat-obat modern. Untuk
sampai pada level obat modern, perlu penelitian.
Dari hasil penelitian, setidaknya ada 208 spesies
tanaman obat yang ada di masyarakat, yang berkhasiat mengobati berbagai
penyakit, antara lain malaria, diabetes, dan peradangan usus. Bahkan,
diperkirakan ada lebih dari 208 spesies karena banyaknya tanaman obat.
Terdapat 33 spesies tanaman untuk menyembuhkan demam.
Dari jumlah tersebut, ada 10 untuk menyembuhkan malaria, antara lain putar wali
(Dayak Kanayatn), kulit langsat (Dayak Darok/Kembayan), papaya (Dayak Iban),
dan limpet yang digunakan daunnya (Dayak Kanayatn). Demikian juga berbagai
jenis tanaman dan khasiat obatnya.
”Saya sering menemukan jenis tanaman yang spesifik dan
baru tahu saat bertanya ke dukun. Tanaman itu pada umumnya termasuk yang belum
banyak teridentifikasi di Kalbar,” kata Yusro.
Selamatkan
pengetahuan
Yusro sesungguhnya berupaya menyelamatkan pengetahuan
masyarakat. Kini, mereka yang mengetahui tentang tanaman obat tinggal orang tua
atau dukun. Itu pun usianya sudah di atas 60 tahun. Selain itu, pengetahuan
tersebut tak dibukukan, hanya warisan secara lisan.
”Bahkan, anak cucu mereka sudah tidak banyak
pengetahuannya tentang tanaman obat. Misalnya, orangtua mengetahui 100 jenis
tanaman obat, tetapi anak cucu mereka paling hanya mengetahui 10 tanaman atau
bahkan hanya lima jenis tanaman,” ujarnya.
Jadi, kesenjangan pengetahuan antara generasi tua dan
muda sangat besar. Kalau satu dukun mengetahui 50 spesies, masyarakat umum
hanya mengetahui 5-10 spesies tanaman obat. Karena itu, kekayaan pengetahuan
tersebut perlu diselamatkan. Jangan sampai pengetahuan itu hilang begitu saja.
Bahkan, anak cucu mereka sudah tidak banyak
pengetahuannya tentang tanaman obat. Misalnya, orangtua mengetahui 100 jenis
tanaman obat, tetapi anak cucu mereka paling hanya mengetahui 10 tanaman atau
bahkan hanya lima jenis tanaman.
Apalagi, sebagian besar informasi yang didapatkan dari
masyarakat tentang khasiat tanaman obat juga ternyata terbukti secara ilmiah.
Artinya, masyarakat memiliki kekayaan pengetahuan tentang tanaman obat yang
luar biasa. Selain itu, juga memiliki potensi untuk dikembangkan lebih jauh,
minimal untuk obat herbal terstandar.
Yusro mengabadikan hasil penelitian tentang kekayaan
tanaman obat dan pengetahuan masyarakat dalam dua jilid buku pada 2013 dan
2014. Buku yang diberi judul Ragam Tumbuhan Berkhasiat Obat di Kalimantan Barat
itu memuat data ratusan tanaman obat beserta penggunanya, cara menggunakannya,
bagian yang digunakan, dan manfaatnya.
Yusro berharap, penelitian tersebut dapat berarti
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan tanaman obat ke depan. Ketika
masyarakat sudah mengetahui tanaman yang memiliki khasiat dan terbukti secara
ilmiah, harapannya tanaman itu terus dikembangkan dan dibudidayakan.
Fathul Yusro
Lahir: Pontianak, 21 Mei 1981
Riwayat pendidikan :
– SDN 02, Batang Tarang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan
Barat (1987-1993)
– Madrasah Tsanawiyah Negeri 02, Pontianak (1993-1996)
– Madrasah Aliyah Negeri 02, Pontianak (1996-1999)
– S-1 Fakultas Kehutanan Universitas
Tanjungpura, Pontianak (1999-2004)
– S-2 IPB (2007-2009)
– S-3 Kochi University, Jepang (2014-2017)
Pekerjaan : Dosen Fakultas Kehutanan
Universitas Tanjungpura, Pontianak (2005-sekarang)
Istri : Rinche Handayani (39)
Anak :
– Fathur Rahmah Auliya (11)
– Fathul Fiqri Abqori (10)
– Fathiah Farras Nabila (8)
Publikasi sejumlah buku dan jurnal tentang
biodiversitas tanaman obat, antara lain:
– Buku Ragam Tumbuhan Obat I dan 11 (Fahutan Press)
– Inventory of Medicinal Plants for Fever Used by Four
Dayak Sub Ethnic in West Kalimantan, Indonesia, (Kuroshio
Science 8-1, 2014, pp 33-38)
– Inhibition of α-Glucosidase by Methanol Extracts
from Wood Bark of Anacardiaceae, Fabaceae, Malvaceae and Phyllanthaceae Plants
Family in West Kalimantan, Indonesia (Kuroshio Science, 9-2, 2016, pp 108-122)
Pengalaman penelitian:
– Potensi Tumbuhan Mengkuang
(Pandanus artocarpus Griff) dari Hutan Rawa Gambut
Kalimantan Barat sebagai Bahan Baku Pulp dan Kertas (Strategis Nasional
(Dikti), 2010)
– Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu di Wilayah KPH Model
Kapuas Hulu (GIZ, Forclime, 2013)
– Kajian Pemanfaatan Tumbuhan Obat oleh Suku Madura di
Desa Sungai
Kunyit Hulu Kabupaten Pontianak
(Fakultas Kehutanan Untan, 2014)
Organisasi:
– Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (2005-sekarang)[Sumber
: Kompas, Rabu, 13 Maret 2019|Oleh : Emanuel
Edi Saputra]
Comments