Koderi | Penjaring Metana dengan SK Langit
Lebih
dari dua dekade Koderi (57) bergelut dengan persoalan sampah dan lingkungan.
Sekitar 100 tempat pembuangan akhir di sejumlah daerah di Indonesia telah
merasakan “sentuhannya”. Menurutnya ada manfaat besar di balik setiap meter
kubik gundukan sampah yang kotor dan menjadi vektor penyakit itu.
PADA Rabu (27/2/2019) sore, Koderi baru selesai
mendampingi mahasiswa mengikuti ujian disertasi Program Doktoral Ilmu Lingkungan
di UnBraw, Malang, Jawa Timur. Dengan tema model pengolahan sampah berbasis
refused derived fuel, penelitian promovendus ert dengan bidang yang selama ini
ditangani oleh Koderi.
Setelah menemani sang mahasiswa, lelaki supel tersebut
kembali ke kantor tempat ia biasa bertugas di lingkungan PemKab Malang. Sebagai
pejabat structural, Koderi bertugas di bidang penataan paa dinas lingkungan
hidup setempat. Di luar waktu kerja itulah aktivitasnya bersinggungan dengan
sampah kembali bergulir.
Koderi tidak keberatan waktu liburnya pada hari sabtu
dan Minggu “dirampas” untuk terbang ke beberapa daerah yang membutuhkan
sumbangsih tenaga dan pikirannya untuk menangani permasalahan yang berkaitan
dengan sampah, khususnya tempat pembuangan akhir (TPA).
Terakhir, tahun 2018, ia diminta membantu mengatur
instalasi penangkapan gas metana (CH4) Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul
(DI Yogyakarta) serta Sukoharjo (Jahawatengah). “Untuk tahun ini belum ada TPA
yang saya sentuh. Hanya sisa kemarin saya baru diundang untuk berbicara soal
energy positif guna meningkatkan kapasitas masyarakat di Probolinggo.
Pesertanya 150 orang perwakilan dari 16 komunitas penggiat lingkungan di daerah
itu,” ucapnya.
Terakit dengan kegiatan seting-menyeting instalasi
metana di TPA. Koderi telah menjelajah seluruh daerah di Tanah Air, seperti
Tanjung Pinang, Bitung, Manado, Banjar, Banjarbaru, Banjarmasin, Kendari,
Sinjai, Denpasar, Majalengka, Cirebon, dan Semarang. Sejumlah daerah di Jatim,
seperti Pasuruan, Situbondo, Banyuwangi, dan Mojokerto, juga menggunakan
jasanya.
Sejauh ini, menurut Koderi, tidak ada kendala berarti
dalam “menundukkan” TPA di banyak daerah yang trelah ia tangani. Hanya TPA
Jatibarang di Semarang yang memiliki tantangan lebih karena wilayah luas dengan
volume sampah cukup besar. Selain itu, banyaknya sapi yang berkeliaran menjadi
ancaman tersendiri bagi instalasi pipa gas di dalamnya.
Terhadap TPA-TPA itu, Koderi menawarkan sebuah
teknologi sederhana dan murah tentang bagaimana menangkap gas metana yang
dihasilkan sampah sehingga menjadi barang berguna untuk membantu keperluan
sehari-hari masyarakat sekitar. Koderi mendapatkan metode penangkapan gas dari
pelatihan dan uji coba yang ia lakukan sebelumnya.
“Sampah yang terbuka kita tata dengan alat berat. Lalu
kita pasang instalasi perpipaan vertical dan horizontal. Kita beri filter dan output-nya, kita kendalikan sehingga
saat hasilnya kita bakar, ia sudah tidak mencemari lingkungan lagi,” ujarnya.
Pengabdi lingkungan
Keberhasilan Koderi menaklukan TPA berawal saat dirinya
menyulap TPA Talangagung di Kabupaten Malang yang semula terbuka (open dumping) dan dilarang oleh
undang-undang menjadi model controlled
landfill yang berujung pada wisata edukasi . saat itu ia masi hmenjabat
kepala TPA setempat.
Atas keberhasilannya inilah, pada tahun 2013 Koderi
menerima penghargaan Kalpataru dari pemerintah untuk kategori Pengabdi
Lingkungan. Saat itu, ayah tiga anak ini baru membantu menangani 17 TPA di
sejumlah wilayah, termasuk Sulawesi dan Kalimantan.
Dari Talangagung pula Koderi meraih gelar pascasarjana
yang dua-duanya didapat dari UniBraw. Tesisnya mengenai purifikasi di
Talangagung mengantarkan Koderi meraih master lingkungan pada tahun 2015.
Begitu TPA Talangagung sebagai tempat wisata edukasi mengantarkannya meraih doctor pada Mei 2018 dan cumlaude.
Selain rindan dan menarik, tahun 2015 TPA Talangagung
menyabet penghargaan inovasi pelayanan public Top 25 dari Kementerian
Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Saat ini Talangagung
telah menyuplai gas metana untuk 360 rumah warga di sekitarnya dan didatangi
sekitar 10.000 mahasiswa setiap tahun.
Menurut Koderi, penanganan TPA di Indonesia masih
banyak yang belum mengacu pada ketentuan. Berdasarkan data dari KemPU, baru 5%
TPA yang menerapkan system sanitary landfield,
15% controlled landfill, dan 80%
sisanya masih open dumping. Adapun
data KemenLingHut, baru 50% TPA yang dikelola sesuai dengna kaidah-kaidah
lingkungan.
“Gas metana itu bahaya, besifat polutan. Kata para
ahli, 1 ton gas metana yang terlepas ke atmosfer ekuivalen dengan 21-25 ton
CO2. Dari situlah saya berpikir, karena melihat Indonesia seperti ini, saya
memulainya dari Talangagung,” tuturnya.
Di luar kegiatan menyeting instalasi metana di TPA dan
mengajar di pasasarjana, Koderi saat ini masih aktif sebagai narasumber
bimbingan teknis KemenPU di Surabaya besama pengajar dan sejumlah perguruan
tinggi di Indonesia. Kegiatan ini telah dilakukan sejak 2010.
Bagi Koderi, sampah adalah rezeki dari Tuhan yang
punya potensi besar sebagai sumber energy terbarukan. Selama ini, menurut dia,
orang masih memiliki perspektif yang salah terhadap sampah sehingga tidak ada
tindakan positif yang mereka lakukan terhadapnya.
Koderi juga punya komitmen, selama hayat masih
dikandung badan, dirinya ingin tetap berbuat sesuatu terhadap sampah dan
lingkungan. Apalagi, di sisi akademis, dirinya punya tanggung jawab di bidang
itu. Koderi menyebut dirinya mendapatkan SK dari langit tentang kiprahnya
tersebut.
“SK Langit, tidak ada kertas tetapi bertanggung jawab
secara langsung kepada Tuhan sehingga ke depan bagaimana pengelolaan lingkungan
dan sampah bisa dilakukan lebih baik,” ujarnya. [Sumber : Kompas, Senin, 4
Maret 2019 | Oleh : Defri Werdiono]
Comments